TULISAN 3
Cinta dan Perkawinan.
Deskripsi Cinta dan Perkawinan.
Apa itu
cinta ? di dunia ini mungkin tidak ada kata yang lebih banyak diucapkan orang
selain kata cinta. Di buku-buku, film-film, sinetron-sinetron, acara-acara
infotainment, maupun gossip keseharian, kata cinta akan selalu hadir sebagai
bintangnya. Akan tetapi, tahukah bahwa diantara ratusan jiwa manusia yang
pernah jatuh cinta, sangat sedikit sekali yang mengetahui arti makna cinta. Tahukah
bahwa diantara orang yang sering berkata tentang cinta, kebanyakan juga tidak
tahu apa arti cinta. Bahkan tidak sedikit orang yang tidak bisa membedakan
antara rasa cinta dan rasa suka biasa. Disini kita akan lebih memperdalam apa
itu cinta ?
Cinta yang abadi dan paling utama
adalah cinta kepada sang pencipta Allah SWT
dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian cinta juga kita berikan
kepada orang tua dan saudara semuslim. Banyak sekali orang mengartikan apa itu
cinta ? tetapi menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah (1996: 4), mahabbah (cinta) adalah luapan hati dan gejolak saat dirundung
keinginan untuk bertemu sang kekasih.
Perkawinan
adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah
pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan
dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang
sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Dasar dan
Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam :
a. Dasar
Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
"Dan
kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang berpekerti
baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan."
b. Tujuan
Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
"Dan
di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
Artikel 1
Hakikat
Cinta dan Pernikahan dalam Islam
Cinta mengandung energi yang sangat besar,
energi yang sangat luar biasa. Itulah kenapa seorang ibu rela berkorban
sekalipun nyawanya demi sang anak. Seorang suami dapat tak hiraukan lelah dan
peluh yang bercucuran demi anak istrinya. Para sahabat rela berkorban demi
Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Dan Romeo yang rela mati demi Juliet
kekasihnya (sebenarnya ini adalah perbuatan bodoh atas nama cinta).
Energi cinta yang besar mempunyai kekuatan
untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu diluar akal sehatnya. Dan memberi
kekuatan besar bagi seseorang untuk melakukan Sesuatu yang ia cintai. Namun
sayang, seringkali kekuatan energi cinta yang begitu besar menguap begitu saja
tanpa ada sinergi dengan hal positif. Hal ini banyak terjadi dikalangan kawula
muda kita, sahabat-sahabat kita, dan saudara-sadara kita. Atau mungkin justru
kita sendiri. Cinta yang mereka usung selalu semu dan fana. Terbukti dengan
kekecewaan, dan kesedihan yang diderita pada akhirnya secara sia-sia.
Sudah menjadi fitrah cinta yang timbul antara
pria dan wanita yang bukan mahram. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Al
Quranul Karim. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir”. (Q.S Ar Rum [30] : 21).
Cinta walaupun mempunyai energi yang luar
biasa namun ia juga rapuh. Islam mensyariatkan pernikahan untuk melindunginya
dari kemadharatan yang ada padanya. Dengan akad pernikahan, Islam menghalalkan
segala macam bentuk ekspresi cinta dari pasangan suami istri. Bahkan setiap
ekspresi dari cinta tersebut bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Pengorbanan
atas nama cinta tidak lagi menjadi sia-sia. Akan tetapi bernilai sangat
istimewa. Rasa letih, lelah sang kepala keluarga untuk anak istri menjadi
ibadah. Kesabaran istri dalam taat kepada suami, melayaninya dan mengasuh serta
mendidik anak-anaknya menjadi ibadah. Dari hal terkecil sampai dengan hal yang
paling besar terhitung ibadah.
Kerapuhan cinta bisa membuat dua insan
berpisah. Dalam syariat pernikahan Islam. Islam menjaga hak setiap pihak,
sehingga tidak ada yang dirugikan. Ketika terjadi perpisahan atau perceraian
hak dan kewajiban dari kedua belah pihak telah diatur dengan sempurna. Dari
mulai yang terkait dengan diri sendiri secara langsung. Seperti mut’ah
(pemberian kepada istri ketika dicerai), dan aturan untuk rujuk. Maupun yang
terkait dengan pihak lain, seperti pembagian waris dan aturan menikah kembali
dengan pasangan yang berbeda. Tidak ada isitilah pihak yang dirugikan disini.
Pihak yang lepas dari tanggung jawabnya seperti menelantarkan anak dan
istrinya. Ia akan diperhitungkan baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT.
Keributan akibat harta gono-gini antara pasangan pun tidak akan terjadi. Karena
telah diatur dalam pembagian waris dan penentuan kepemilikan harta.
Dengan demikian energi cinta yang besar tidak
akan sia-sia serta tidak membahayakan. Rapuhnya pun tidak akan merugikan satu
pihak, apalagi menderita sia-sia. Seperti pasangan yang ditinggal kekasihnya
dan ia dalam keadaan mengandung, misalnya. Dari sini kita juga dapat
mengatakan, penghargaan tertinggi untuk wanita atas nama cinta adalah
pernikahan secara Islam. Wallahu a’lam bish-shawab. (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/27/lluu6v-hakikat-cinta-dan-pernikahan-dalam-islam)
Tanggapan
: artikel diatas menjelaskan tentang energi cinta yang sangat luar biasa. Energi
cinta membuat orang rela berkorban dalam segala hal. Namun sayang sekalimenergi
cinta yang luar biasa itu dibiarkan begitu saja sehingga seringkali kekuatan
energi cinta yang begitu besar menguap begitu saja tanpa ada sinergi dengan hal
positif. Hal ini banyak terjadi dikalangan kawula muda kita, Cinta yang mereka jalani selalu semu dan fana. Terbukti dengan
kekecewaan, dan kesedihan yang diderita pada akhirnya secara sia-sia. Cinta walaupun mempunyai energi yang luar biasa
namun ia juga rapuh. Karena itu islam mensyariatkan pernikahan untuk
melindunginya dari kemadharatan yang ada padanya. Dengan akad pernikahan, islam
menghalalkan segala macam bentuk ekspresi cinta dari pasangan lawan jenis.
Bagaimana Memilih Pasangan.
Memilih pasangan
hidup yang baik memang ditentukan oleh cara pandang dan perilaku seseorang
dalam kehidupannya. Cara pandang tentang kehidupan yakni agama menjadi salah
satu tolak ukur seseorang dalam menentukan pasangan. Seseorang tidak akan mudah
memilih pasangan yang tidak seagama, kalau pun ada kejadian seperti itu berarti
kedua pasangan tersebut telah cinta buta. Karena kecintaannya kepada seseorang
dengan meninggalkan nilai dan aturan dalam hidup.
Berbicara tentang pemilihan pasangan (jodoh), Berikut
terdapat beberapa kriteria dalam memilih calon pasangan hidup, khususnya yang
beragama Islam yaitu :
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya. maksudnya ini
adalah criteria yang paling utama dari criteria yang lainnya).
2.
Al Kafa’ah/sekufu. Maksudnya sebanding
dalam hal kedudukan, agama, nasabnya.
3. Menyenangkan jika dipandang. Maksudnya
Rasulullah SAW membolehkan kita untuk menjadikan factor fisik sebagai salah
satu criteria memilih pasangan.
4. Subur (mampu menghasilkan keturunan). Maksudnya
untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat
izzah (kemuliaan) kaum muslimin.
Artikel 2
Saat
Bingung Memilih Pasangan
Dalam
memilih pasangan hidup, baik bagi laki-laki maupun perempuan keduanya memiliki
hak untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Hal itu dikenal dalam
Islam yang namanya ‘kufu’ ( layak dan serasi ), dan seorang wali nikah berhak
memilihkan jodoh untuk putrinya seseorang yang sekufu, meski makna kufu paling
umum dikalangan para ulama adalah seagama. Namun makna-makna yang lain seperti
kecocokan, juga merupakan makna yang tidak bisa dinafikan, dengan demikian PROSES MEMILIH ITU TERJADI PADA PIHAK LAKI-LAKI MAUPUN PEREMPUAN.
Disisi lain bahwa memilih pasangan hidup dengan mempertimbangkan berbagai
sisinya, asalkan pada pertimbangan-pertimbangan yang wajar serta Islami,
merupakan keniscayaan hidup dan representasi kebebasan dari Allah yang Dia
karuniakan kepada setiap manusia, termasuk dalam memilih suami atau istri.
Aisyah Ra berkata, “Pernikahan hakikatnya adalah penghambaan, maka hendaknya
dia melihat dimanakah kehormatannya akan diletakkan”
Rasulullah
pun bersabda, “Barang siapa yang menjodohkan kehormatannya dengan orang yang
fasik maka dia telah memutus rahimnya” (HR Ibnu Hibban). Nabi juga pernah
memberikan pertimbangan kepada seorang sahabiyah yang datang kepadanya seraya
minta pertimbangan atas dua orang yang akan melamarnya, lalu Nabi menjawab,
“Adapun Muawiyah bin Abi sufyan dia sangat ringan tangan (alias gampang
memukul), adapun yang lainnya adalah orang yang fakir tidak memiliki harta yang
banyak.” Lalu Nabi menikahkannya dengan Zaid bin Haritsah. Dan untuk
memantapkan pilihan, terutama dari berbagai alternatif sebaiknya melakukan
shalat istikhorah baik di tengah malam maupun di awalnya, dan lakukan secara
berkali-kali. Jika telah dilakukan berkali-kali maka KEMANTAPAN YANG ADA ITULAH
YANG INSYA ALLAH MERUPAKAN PETUNJUK-NYA, DAN ITULAH YANG LEBIH DIIKUTI. Tetapi
perlu diingat, bahwa informasi yang dominan pada diri seseorang sering yang
lebih berpengaruh terhadap istikhorah, oleh karena itu perlu dilakukan
berkali-kali. Dan untuk membedakan apakah itu keputusan yang dominan adalah
selera semata atau dominasi istikharah agak sulit, kecuali dengan berkali-kali,
sekalipun salah satu tanda bahwa itu adalah petunjuk dari Allah adalah
dimudahkannya urusan tersebut, tetapi hal tersebut bukan satu-satunya alamat yang
mutlak. (http://artikelcinta.wordpress.com/2007/04/30/saat-bingung-memilih-pasangan/#more-5)
Tanggapan: artikel diatas menerangkan
dalam memiih pasangan, baik laki-laki dan perempuan keduanya memiliki hak untuk
memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Dan memilih pasangan hidup juga
harus dilhat dari berbagai hal dengan pertimbangan yang wajar dan menurut
ajaran islam.
Seluk-beluk Hubungan dalam Perkawinan.
Seluk beluk
perkawinan sebagai unit social kecil
yang merupakan landasan terbentuknya masyarakat yang lebih luas. Berbagai masalah
senantiasa dihadapi oleh setiap perkawinan. Masalah diseputar perkawinan atau
kehidupan berkeluarga antara lain:
· Kesulitan ekonomi keluarga yang kurang
tercukupi.
· Perbedaan watak.
· Temperamen dan perbedaan kepribadian
yang sangat tajam antara suami dan
istri.
· Ketidakpuasan dalam hubungan seks.
· Kejenuhan rutinitas.
· Hubungan antara keluarga besar yang
kurang baik.
· Adanya istilah WIL (wanita idaman
lain) atau PIL (pria idaman lain).
· Masalah harta warisan.
· Menurunnya perhatian kedua belah
pihak.
· Domonasi dan intervensi orang tua atau
mertua.
· Kesalahpahaman antara kedua belah
pihak.
Dari
salah satu masalah diatas yaitu kesalahpahaman yang menyebabkan pasangan
menjadi tersinggung, sehingga terkadang memicu adanya perceraian. Hal itu
merupakan masalah yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Karena
kesalahpahaman itulah yang terkadang pasangan kurang untuk membuka komunikasi
dengan pasangannya yang kemudian menimbulkan misskomunikasi. Tanpa mereka
sadari dengan keadaan seperti itu akan membuat mereka sulit dalam menghadapi
problem apapun. Komunikasi yang intern dan baik akan melahirkan saling
keterbukaan dan suasana keluarga yang nyaman. Allah juga memerintahkan kepada
suami-istri untuk selalu berbuat baik. Suami dan istri sering beranggapan bahwa
masalah yang timbul akan selesai dengan sendirinya, asalkan bersabar dan
menyediakan waktu yang panjang.
Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan.
Penyesuaian
Perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan
diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan
kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan
kebutuhan, keinginan dan harapan.
Hurlock (1990)
mengatakan bahwa terdapat lima criteria kaberhasilan dalam penyesuaian
perkawinan, yaitu :
1. Kebahagiaan suami istri. Suami istri yang
bahagia yang memperolaeh kebahagiaan bersama akan membuahkan kepuasan yang
diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama
2. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari
perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak
dapat dielekkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan
yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian
atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan orang lain.
3. Kebersamaan. Jika penyesuaian perkawinan dapat
berhasil, maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul
barsama.
4. Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan. Dalam
keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan kejengkelan adalah
sekitar masalah keuangan.
5. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga. Apabila
suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan,
khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan. Kecil kemungkinannya untuk
terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.
Factor-faktor
yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu :
1. Usia
2. Agama
3. Ras
4.
Pendidikan
5.
Keluarga pasangan
Bahwa satu
sampai dua tahun pertama perkawinan adalah tahun yang paling penting sekali
dalam penyesuaian perkawinan. Dan pada masa dewasa dini adalah masa dimana individu
menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam masyarakat,
perumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan berusia 20 hingga 40
tahun.
Artikel 4
Tahun Pertama Pernikahan Menentukan
Perjalanan Selanjutnya
Setelah menikah, proses penyesuaian sepasang
kekasih bagaikan kembali ke titik awal. Dalam ikatan pernikahan bisa muncul
kejutan-kejutan kecil seputar sifat atau kebiasaan pasangan yang tak ditemukan
di masa pertunangan ataupun berpacaran. Ada juga yang berharap kebiasaan buruk
di masa sebelum menikah bisa menghilang setelah kekasih menjadi suami atau
istri. Namun, yang ditemukan justru semakin panjangnya kebiasaan buruk
pasangan. Sebetulnya tidak ada yang berubah pada sifat asli seseorang meskipun
ia telah menikah. Kalaupun terlihat semakin banyak ketidakcocokan yang muncul,
itu karena setelah satu atap dengannya, mau tidak mau tampaklah karakter atau
sifat asli, kebiasaan-kebiasaan, juga masalah yang tidak sempat muncul di
permukaan kala pacaran. Inilah yang harus dipahami oleh masing-masing pasangan.
Perbedaan karakter, sifat, serta kebiasaan-kebiasaan umumnya menjadi masalah
dalam hal pengelolaan keuangan, pembagian peran dalam rumah tangga,
penerimaan/penempatan diri dalam keluarga besar, hubungan intim, pembagian
waktu antara pekerjaan dan rumah, sampai kesempatan bergaul dengan teman. Bila
kemudian lahir anak pertama, maka dari pola pengasuhan anak pun bisa timbul
perbedaan.
Mempertemukan Kepentingan
Proses penyesuaian memang butuh perjuangan
agar dapat memadukan perbedaan-perbedaan serta mempertemukan
kepentingan-kepentingan yang muncul. Tentunya diperlukan saling pengertian dari
kedua belah pihak serta kebesaran hati lewat komunikasi yang intens dan pas.
Contohnya saja, dalam hal pengasuhan anak diperlukan kebesaran hati untuk bisa
memasukkan kedua pola asuh yang berbeda atau merumuskan pola asuh yang pas. Meski
penyesuaian terus terjadi sepanjang usia pernikahan, hal-hal mendasar seperti
metode pengelolaan keuangan, pola asuh anak, dan hal-hal lain yang disebutkan
tadi diselesaikan di tahun-tahun pertama pernikahan. Mengapa? Bila dibiarkan
berlarut-larut, terutama karena gengsi atau khawatir kehilangan kemesraan dan
akhirkan dibiarkan saja, ganjalan ini dapat menjadi api dalam sekam dan
memunculkan masalah-masalah baru. Hal ini tentunya akan mengancam keharmonisan
hubungan selanjutnya.nSebaliknya, bicarakan perbedaan-perbedaan yang ada dan
lakukan penyesuaian-penyesuaian oleh suami istri agar ditemukan jalan
tengahnya. Penyesuaian-penyesuaian ini sejatinya bisa menjadi peluang atau
momentum bagi masing-masing untuk bisa saling mengenal, saling memahami lebih
baik lagi pasangannya baik secara fisik, emosi, kebiasaan, minat, hobi, dan
lain-lain. Jika keduanya berhasil melewatinya dengan baik, maka memasuki
tahun-tahun selanjutnya akan terbentang landasan yang lebih kokoh lagi.
Introspeksi dan Toleransi
Pada dasarnya, pernikahan merupakan proses
kerja sama dari kedua belah pihak. Jadi harus dipahami, dalam mengupayakan
keharmonisan rumah tangga, cinta saja tidak cukup untuk dapat menghadapi semua
permasalahan. Diperlukan pula kematangan dalam bersikap, kematangan emosi, dan
kedewasaaan berpikir, kesediaan bertoleransi, serta komunikasi yang sehat. Bila
dalam kehidupan berumah tangga tersebut timbul konflik, maka kenali sumber
konflik tersebut dan tantangannya. Jadikan hal itu sebagai sarana untuk
pasangan lebih melakukan introspeksi diri dan kembali ke konsep awal
pernikahan. Upayakan setiap konflik dapat terselesaikan dan mampu dibicarakan
tanpa emosional. Caranya dengan mencari waktu yang tepat, semisal di saat
santai, untuk membahasnya. Pada saat membahas, jangan menyerang pribadi, tapi
fokuslah pada masalah dalam kerangka kasih sayang. Jika semua masalah
dikomunikasikan dengan baik dan dilakukan kesepakatan bersama tanpa dibuat
rumit, maka potensi konflik yang muncul bisa dikurangi, bahkan dihilangkan. (http://www.artikelpernikahan.com/2010/11/tahun-pertama-pernikahan-menentukan.html)
Tanggapan
: artikel diatas tentang penyesuaian setelah adanya ikatan pernikahan. Banyak hal-hal
yang berubah setelah hidup dalam satu atap (satu rumah). Banyak kebiasaan yang
ketika berpacaran tidak terlihat tetapi setelah menikah semuanya terlihat
sehingga sering terjadi cekcok antara keduanya. Proses penyesuaian memang butuh
perjuangan agar dapat memadukan perbedaan-perbedaan serta mempertemukan
kepentingan-kepentingan yang muncul. Karena hal ini masing-masing pasangan
harus memiliki sikap toleransi dan adanya introspeksi antara keduanya agar
terjalin hubungan yang sangat harmonis.
Perceraian dan Pernikahan kembali.
Setiap pasangan
yang telah menikah pasti memiliki perjanjian dan kontrak, maka pihak yang
terkait dengan perjanjian atau kontrak perjanjian tersebut berjanji akan
membina rumah tangga yang bahagia lahir batin dengan melahirkan anak-cucu yang
meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat
diwujudkan dalam pernikahan misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan
seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah
mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui
pemutusan pernikahan (perceraian). Setelah perceraian terjadi biasanya banyak
orang yang trauma dengan pernikahan sehingga takut untuk berhubungan lagi
dengan lawan jenis, tetapi ada juga orang yang langsung membuka diri dan
menemukan kecocokan dengan pasangannya yang akhirnya menikah kembali melalui
pernikahan kembali setelah terjadi perceraian.
Single Life.
Manusia sebagai
makhluk social tidak akan pernah lepas dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai
makhluk social kita memerlukan hubungan interpersonal secara mendalam dengan
seseorang sehingga dapat memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya. Hubungan yang
demikian akan meningkat terus sehingga sampai pada suatu perkawinan. Namun demikian,
ternyata tidak semua orang dewasa menikah. Hidup melajang dan membujang banyak
terjadi disekitar kita. Mereka memilih jalan hidup sendiri, bukanlah suatu hal
tanpa masalah sehingga dapat dengan mudah dijalankan oleh seseorang. Mereka yang
menjalani kehidupan tersebut harus berani mengambil resiko dari segal
permasalahan yang akan timbul nantinya. Padahal agama juga menjelaskan bahwa
telah dianjurkan kepada seseorang jika telah memasuki usia menikah, sudah mampu
memberikan kebutuhan lahir dan batin maka segeralah untuk menikah karena dengan
menikah maka agama seseorang akan sempurna dan merupakan ibadah kepada Allah
SWT. Dan sebenarnya kita diciptakan
Allah SWT sudah berpasang-pasangan dan akan lebih baik jika dipersatukan dan
disahkan dalam ikatan pernikahan.
Artikel 6
Memilih Jadi Lajang atau Terpaksa Melajang
Ketika melihat seseorang yang masih
membujang, tentu saja banyak hal yang disangkakan. Yang terburuk adalah
dianggap memiliki orientasi seks yang berbeda. Padahal menurut Dr. Bella
DePaulo, atau Ellen McCarthy's di Washington Post, sedikit banyak menyimpulkan
beberapa hal kenapa memilih hidup melajang. Pilihan yang pertama adalah, di
sekeliling mereka terdapat banyak lajang yang berbahagia. Bahagia dengan
jalinan hubungan yang santai, tanpa status, tanpa ikatan. Bahkan ketika
berpasangan dengan ‘orang yang tepat’, tetap tidak mau berkomitmen. Bukan takut
pada ikatan, tetapi karena melajang adalah pilihan. Kemudian ada juga yang
memilih menjadi lajang karena menunggu datangnya ‘orang yang tepat’. Jika
seseorang yang ditunggu datang, mereka akan menikah. Jika tidak, lebih baik
sendiri dari pada menikahi orang yang salah, yang tidak cocok, dan jika
akhirnya tidak menikah, tidak menjadi apa. Dan yang ketiga adalah orang yang
terpaksa melajang. Keinginan untuk menikah sangat besar, tentu saja menikahi
orang yang tepat. Sayangnya sampai mendekati titik kritisnya atau bahkan jauh
melewati batas yang sudah dicanangkannya, belum juga menikah. Maka ketakutan
akan menghantuinya, dengan siapa sisa hidupnya akan dihabiskan.
Terpaksa melajang inilah yang akan menjadi
fokus artikel ini. Akan terjadi pertentangan antara statusnya sebagai lajang
dan keinginan alamiahnya untuk menjalin hubungan atau menikah. Bertambahnya
usia akan semakin mendesak dan menuntutnya untuk segera mengakhiri masa
lajangnya. Dan ketika desakan itu sudah semakin kuat, hal-hal idealnya akan
semakin terkikis dan runtuh. Prioritas utamanya adalah menikah, akibatnya demi
tujuan tersebut orang lain digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Apa
yang dilakukan oleh lajang ini sama dengan memaksa orang lain terlibat dalam pernikahannya.
Bahkan jika pernikahan dilakukan dalam kesepakatan, misal, berteman dengan
seseorang, lalu terjadi kesepakatan, jika sampai pada usia tertentu masih
lajang, mereka akan menikah. Sepertinya perjanjian tersebut adalah jalan ke
luar yang terbaik, rasional, dan diputuskan dengan kepala dingin. Tetapi
seharusnya pernikahan itu adalah suatu yang lebih rumit dari penyerdehanaan
tersebut.
Pernikahan bukan sesuatu yang nyaman dan
indah, walaupun beberapa pasangan mampu melakukannya. Pasangan bahagia tersebut
melakukannya tidak dengan mudah, mereka meyakini bahwa hubungan pernikahan
adalah segala-galanya. Pernikahan adalah sebuah kesesuaian dengan pasangan,
sehingga mencari orang yang tepat dan yang mendekati sesuai adalah bagian yang
terpenting. Tetapi ketika menunggu ‘orang yang tepat’ sampai datang juga bukan
tindakan yang terbaik. Tidak ada orang yang sempurna, tak satupun, dua, apa
lagi tiga. Tetapi tentu saja ada seseorang atau beberapa orang yang akan
menjadi hebat dan mendekati sempurna saat bersama, mungkin itulah ‘orang yang
tepat’. Dengan begitu bukan berarti pernyataan di atas adalah saran untuk
menurunkan kriteria ‘orang yang tepat’, tetapi akan lebih indah jika ukuran
‘orang yang tepat’ tersebut di evaluasi, dikalibrasi ulang, siapa tahu cakrawala
juga makin meluas. Dan jika ingin mencari ‘orang yang tepat’, jauhkan pikiran
untuk membentuk apalagi membuat ‘orang yang tepat’ dalam bentuk imaginer.
Tetapi tetapkan satu saja kriteria yang bisa membuat bahagia, sekarang dan di
masa depan.
(http://www.oktomagazine.com/oktofemale/relationships/1685/memilih.jadi.lajang.atau.terpaksa.melajang)
Tanggapan
: menurut artikel diatas banyak hal yang disangkakan buruk ketika melihat jika
seseorang masih membujang atau melajang. Sedikit banyak menyimpulkan beberapa
hal kenapa memilih hidup melajang. Ada yang merasa belum memdapatkan seseorang
yang cocok dan ada juga yang berhubungan tapi takut untuk berkomitmen. Sehingga
mereka lebih memilih sendiri.
Daftar Pustaka
kurniawan
Harlis. 2009. Revolusi Cinta. Jakarta
: PT. Lingkar Pena Kreativa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar