Sabtu, 08 Juni 2013

Tulisan 3


TULISAN 3
Cinta dan Perkawinan.
Deskripsi Cinta dan Perkawinan.
Apa itu cinta ? di dunia ini mungkin tidak ada kata yang lebih banyak diucapkan orang selain kata cinta. Di buku-buku, film-film, sinetron-sinetron, acara-acara infotainment, maupun gossip keseharian, kata cinta akan selalu hadir sebagai bintangnya. Akan tetapi, tahukah bahwa diantara ratusan jiwa manusia yang pernah jatuh cinta, sangat sedikit sekali yang mengetahui arti makna cinta. Tahukah bahwa diantara orang yang sering berkata tentang cinta, kebanyakan juga tidak tahu apa arti cinta. Bahkan tidak sedikit orang yang tidak bisa membedakan antara rasa cinta dan rasa suka biasa. Disini kita akan lebih memperdalam apa itu cinta ?
            Cinta yang abadi dan paling utama adalah cinta kepada sang pencipta Allah SWT  dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian cinta juga kita berikan kepada orang tua dan saudara semuslim. Banyak sekali orang mengartikan apa itu cinta ? tetapi menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah (1996: 4), mahabbah (cinta) adalah luapan hati dan gejolak saat dirundung keinginan untuk bertemu sang kekasih.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Dasar dan Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam :
a. Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan."
b. Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
Artikel 1
Hakikat Cinta dan Pernikahan dalam Islam
Cinta mengandung energi yang sangat besar, energi yang sangat luar biasa. Itulah kenapa seorang ibu rela berkorban sekalipun nyawanya demi sang anak. Seorang suami dapat tak hiraukan lelah dan peluh yang bercucuran demi anak istrinya. Para sahabat rela berkorban demi Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Dan Romeo yang rela mati demi Juliet kekasihnya (sebenarnya ini adalah perbuatan bodoh atas nama cinta).
Energi cinta yang besar mempunyai kekuatan untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu diluar akal sehatnya. Dan memberi kekuatan besar bagi seseorang untuk melakukan Sesuatu yang ia cintai. Namun sayang, seringkali kekuatan energi cinta yang begitu besar menguap begitu saja tanpa ada sinergi dengan hal positif. Hal ini banyak terjadi dikalangan kawula muda kita, sahabat-sahabat kita, dan saudara-sadara kita. Atau mungkin justru kita sendiri. Cinta yang mereka usung selalu semu dan fana. Terbukti dengan kekecewaan, dan kesedihan yang diderita pada akhirnya secara sia-sia.
Sudah menjadi fitrah cinta yang timbul antara pria dan wanita yang bukan mahram. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quranul Karim. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Q.S Ar Rum [30] : 21).
Cinta walaupun mempunyai energi yang luar biasa namun ia juga rapuh. Islam mensyariatkan pernikahan untuk melindunginya dari kemadharatan yang ada padanya. Dengan akad pernikahan, Islam menghalalkan segala macam bentuk ekspresi cinta dari pasangan suami istri. Bahkan setiap ekspresi dari cinta tersebut bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Pengorbanan atas nama cinta tidak lagi menjadi sia-sia. Akan tetapi bernilai sangat istimewa. Rasa letih, lelah sang kepala keluarga untuk anak istri menjadi ibadah. Kesabaran istri dalam taat kepada suami, melayaninya dan mengasuh serta mendidik anak-anaknya menjadi ibadah. Dari hal terkecil sampai dengan hal yang paling besar terhitung ibadah.
Kerapuhan cinta bisa membuat dua insan berpisah. Dalam syariat pernikahan Islam. Islam menjaga hak setiap pihak, sehingga tidak ada yang dirugikan. Ketika terjadi perpisahan atau perceraian hak dan kewajiban dari kedua belah pihak telah diatur dengan sempurna. Dari mulai yang terkait dengan diri sendiri secara langsung. Seperti mut’ah (pemberian kepada istri ketika dicerai), dan aturan untuk rujuk. Maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti pembagian waris dan aturan menikah kembali dengan pasangan yang berbeda. Tidak ada isitilah pihak yang dirugikan disini. Pihak yang lepas dari tanggung jawabnya seperti menelantarkan anak dan istrinya. Ia akan diperhitungkan baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT. Keributan akibat harta gono-gini antara pasangan pun tidak akan terjadi. Karena telah diatur dalam pembagian waris dan penentuan kepemilikan harta.
Dengan demikian energi cinta yang besar tidak akan sia-sia serta tidak membahayakan. Rapuhnya pun tidak akan merugikan satu pihak, apalagi menderita sia-sia. Seperti pasangan yang ditinggal kekasihnya dan ia dalam keadaan mengandung, misalnya. Dari sini kita juga dapat mengatakan, penghargaan tertinggi untuk wanita atas nama cinta adalah pernikahan secara Islam. Wallahu a’lam bish-shawab. (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/27/lluu6v-hakikat-cinta-dan-pernikahan-dalam-islam)
Tanggapan : artikel diatas menjelaskan tentang energi cinta yang sangat luar biasa. Energi cinta membuat orang rela berkorban dalam segala hal. Namun sayang sekalimenergi cinta yang luar biasa itu dibiarkan begitu saja sehingga seringkali kekuatan energi cinta yang begitu besar menguap begitu saja tanpa ada sinergi dengan hal positif. Hal ini banyak terjadi dikalangan kawula muda kita, Cinta yang mereka jalani selalu semu dan fana. Terbukti dengan kekecewaan, dan kesedihan yang diderita pada akhirnya secara sia-sia. Cinta walaupun mempunyai energi yang luar biasa namun ia juga rapuh. Karena itu islam mensyariatkan pernikahan untuk melindunginya dari kemadharatan yang ada padanya. Dengan akad pernikahan, islam menghalalkan segala macam bentuk ekspresi cinta dari pasangan lawan jenis.

Bagaimana Memilih Pasangan.
Memilih pasangan hidup yang baik memang ditentukan oleh cara pandang dan perilaku seseorang dalam kehidupannya. Cara pandang tentang kehidupan yakni agama menjadi salah satu tolak ukur seseorang dalam menentukan pasangan. Seseorang tidak akan mudah memilih pasangan yang tidak seagama, kalau pun ada kejadian seperti itu berarti kedua pasangan tersebut telah cinta buta. Karena kecintaannya kepada seseorang dengan meninggalkan nilai dan aturan dalam hidup.
Berbicara tentang pemilihan pasangan (jodoh), Berikut terdapat beberapa kriteria dalam memilih calon pasangan hidup, khususnya yang beragama Islam yaitu :
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya. maksudnya ini adalah criteria yang paling utama dari criteria yang lainnya).
2.  Al Kafa’ah/sekufu. Maksudnya sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasabnya.
3. Menyenangkan jika dipandang. Maksudnya Rasulullah SAW membolehkan kita untuk menjadikan factor fisik sebagai salah satu criteria memilih pasangan.
4. Subur (mampu menghasilkan keturunan). Maksudnya untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin.
Artikel 2
Saat Bingung Memilih Pasangan
Dalam memilih pasangan hidup, baik bagi laki-laki maupun perempuan keduanya memiliki hak untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Hal itu dikenal dalam Islam yang namanya ‘kufu’ ( layak dan serasi ), dan seorang wali nikah berhak memilihkan jodoh untuk putrinya seseorang yang sekufu, meski makna kufu paling umum dikalangan para ulama adalah seagama. Namun makna-makna yang lain seperti kecocokan, juga merupakan makna yang tidak bisa dinafikan, dengan demikian PROSES MEMILIH ITU TERJADI PADA PIHAK LAKI-LAKI MAUPUN PEREMPUAN. Disisi lain bahwa memilih pasangan hidup dengan mempertimbangkan berbagai sisinya, asalkan pada pertimbangan-pertimbangan yang wajar serta Islami, merupakan keniscayaan hidup dan representasi kebebasan dari Allah yang Dia karuniakan kepada setiap manusia, termasuk dalam memilih suami atau istri. Aisyah Ra berkata, “Pernikahan hakikatnya adalah penghambaan, maka hendaknya dia melihat dimanakah kehormatannya akan diletakkan”
Rasulullah pun bersabda, “Barang siapa yang menjodohkan kehormatannya dengan orang yang fasik maka dia telah memutus rahimnya” (HR Ibnu Hibban). Nabi juga pernah memberikan pertimbangan kepada seorang sahabiyah yang datang kepadanya seraya minta pertimbangan atas dua orang yang akan melamarnya, lalu Nabi menjawab, “Adapun Muawiyah bin Abi sufyan dia sangat ringan tangan (alias gampang memukul), adapun yang lainnya adalah orang yang fakir tidak memiliki harta yang banyak.” Lalu Nabi menikahkannya dengan Zaid bin Haritsah. Dan untuk memantapkan pilihan, terutama dari berbagai alternatif sebaiknya melakukan shalat istikhorah baik di tengah malam maupun di awalnya, dan lakukan secara berkali-kali. Jika telah dilakukan berkali-kali maka KEMANTAPAN YANG ADA ITULAH YANG INSYA ALLAH MERUPAKAN PETUNJUK-NYA, DAN ITULAH YANG LEBIH DIIKUTI. Tetapi perlu diingat, bahwa informasi yang dominan pada diri seseorang sering yang lebih berpengaruh terhadap istikhorah, oleh karena itu perlu dilakukan berkali-kali. Dan untuk membedakan apakah itu keputusan yang dominan adalah selera semata atau dominasi istikharah agak sulit, kecuali dengan berkali-kali, sekalipun salah satu tanda bahwa itu adalah petunjuk dari Allah adalah dimudahkannya urusan tersebut, tetapi hal tersebut bukan satu-satunya alamat yang mutlak. (http://artikelcinta.wordpress.com/2007/04/30/saat-bingung-memilih-pasangan/#more-5)
Tanggapan: artikel diatas menerangkan dalam memiih pasangan, baik laki-laki dan perempuan keduanya memiliki hak untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Dan memilih pasangan hidup juga harus dilhat dari berbagai hal dengan pertimbangan yang wajar dan menurut ajaran islam.

Seluk-beluk Hubungan dalam Perkawinan.
Seluk beluk perkawinan sebagai unit social kecil yang merupakan landasan terbentuknya masyarakat yang lebih luas. Berbagai masalah senantiasa dihadapi oleh setiap perkawinan. Masalah diseputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga antara lain:
·         Kesulitan ekonomi keluarga yang kurang tercukupi.
·         Perbedaan watak.
·         Temperamen dan perbedaan kepribadian yang sangat tajam antara  suami dan istri.
·         Ketidakpuasan dalam hubungan seks.
·         Kejenuhan rutinitas.
·         Hubungan antara keluarga besar yang kurang baik.
·         Adanya istilah WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain).
·         Masalah harta warisan.
·         Menurunnya perhatian kedua belah pihak.
·         Domonasi dan intervensi orang tua atau mertua.
·         Kesalahpahaman antara kedua belah pihak.
Dari salah satu masalah diatas yaitu kesalahpahaman yang menyebabkan pasangan menjadi tersinggung, sehingga terkadang memicu adanya perceraian. Hal itu merupakan masalah yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Karena kesalahpahaman itulah yang terkadang pasangan kurang untuk membuka komunikasi dengan pasangannya yang kemudian menimbulkan misskomunikasi. Tanpa mereka sadari dengan keadaan seperti itu akan membuat mereka sulit dalam menghadapi problem apapun. Komunikasi yang intern dan baik akan melahirkan saling keterbukaan dan suasana keluarga yang nyaman. Allah juga memerintahkan kepada suami-istri untuk selalu berbuat baik. Suami dan istri sering beranggapan bahwa masalah yang timbul akan selesai dengan sendirinya, asalkan bersabar dan menyediakan waktu yang panjang.

Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan.
Penyesuaian Perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.
Hurlock (1990) mengatakan bahwa terdapat lima criteria kaberhasilan dalam penyesuaian perkawinan, yaitu :

1. Kebahagiaan suami istri. Suami istri yang bahagia yang memperolaeh kebahagiaan bersama akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama
2. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak dapat dielekkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan orang lain.
3. Kebersamaan. Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul barsama.
4. Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan. Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan.
5. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga. Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan. Kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.
Factor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu :
1. Usia
2. Agama
3. Ras
4. Pendidikan
5. Keluarga pasangan
Bahwa satu sampai dua tahun pertama perkawinan adalah tahun yang paling penting sekali dalam penyesuaian perkawinan. Dan pada masa dewasa dini adalah masa dimana individu menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam masyarakat, perumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan berusia 20 hingga 40 tahun.

Artikel 4
Tahun Pertama Pernikahan Menentukan Perjalanan Selanjutnya
Setelah menikah, proses penyesuaian sepasang kekasih bagaikan kembali ke titik awal. Dalam ikatan pernikahan bisa muncul kejutan-kejutan kecil seputar sifat atau kebiasaan pasangan yang tak ditemukan di masa pertunangan ataupun berpacaran. Ada juga yang berharap kebiasaan buruk di masa sebelum menikah bisa menghilang setelah kekasih menjadi suami atau istri. Namun, yang ditemukan justru semakin panjangnya kebiasaan buruk pasangan. Sebetulnya tidak ada yang berubah pada sifat asli seseorang meskipun ia telah menikah. Kalaupun terlihat semakin banyak ketidakcocokan yang muncul, itu karena setelah satu atap dengannya, mau tidak mau tampaklah karakter atau sifat asli, kebiasaan-kebiasaan, juga masalah yang tidak sempat muncul di permukaan kala pacaran. Inilah yang harus dipahami oleh masing-masing pasangan. Perbedaan karakter, sifat, serta kebiasaan-kebiasaan umumnya menjadi masalah dalam hal pengelolaan keuangan, pembagian peran dalam rumah tangga, penerimaan/penempatan diri dalam keluarga besar, hubungan intim, pembagian waktu antara pekerjaan dan rumah, sampai kesempatan bergaul dengan teman. Bila kemudian lahir anak pertama, maka dari pola pengasuhan anak pun bisa timbul perbedaan.
Mempertemukan Kepentingan
Proses penyesuaian memang butuh perjuangan agar dapat memadukan perbedaan-perbedaan serta mempertemukan kepentingan-kepentingan yang muncul. Tentunya diperlukan saling pengertian dari kedua belah pihak serta kebesaran hati lewat komunikasi yang intens dan pas. Contohnya saja, dalam hal pengasuhan anak diperlukan kebesaran hati untuk bisa memasukkan kedua pola asuh yang berbeda atau merumuskan pola asuh yang pas. Meski penyesuaian terus terjadi sepanjang usia pernikahan, hal-hal mendasar seperti metode pengelolaan keuangan, pola asuh anak, dan hal-hal lain yang disebutkan tadi diselesaikan di tahun-tahun pertama pernikahan. Mengapa? Bila dibiarkan berlarut-larut, terutama karena gengsi atau khawatir kehilangan kemesraan dan akhirkan dibiarkan saja, ganjalan ini dapat menjadi api dalam sekam dan memunculkan masalah-masalah baru. Hal ini tentunya akan mengancam keharmonisan hubungan selanjutnya.nSebaliknya, bicarakan perbedaan-perbedaan yang ada dan lakukan penyesuaian-penyesuaian oleh suami istri agar ditemukan jalan tengahnya. Penyesuaian-penyesuaian ini sejatinya bisa menjadi peluang atau momentum bagi masing-masing untuk bisa saling mengenal, saling memahami lebih baik lagi pasangannya baik secara fisik, emosi, kebiasaan, minat, hobi, dan lain-lain. Jika keduanya berhasil melewatinya dengan baik, maka memasuki tahun-tahun selanjutnya akan terbentang landasan yang lebih kokoh lagi.
Introspeksi dan Toleransi
Pada dasarnya, pernikahan merupakan proses kerja sama dari kedua belah pihak. Jadi harus dipahami, dalam mengupayakan keharmonisan rumah tangga, cinta saja tidak cukup untuk dapat menghadapi semua permasalahan. Diperlukan pula kematangan dalam bersikap, kematangan emosi, dan kedewasaaan berpikir, kesediaan bertoleransi, serta komunikasi yang sehat. Bila dalam kehidupan berumah tangga tersebut timbul konflik, maka kenali sumber konflik tersebut dan tantangannya. Jadikan hal itu sebagai sarana untuk pasangan lebih melakukan introspeksi diri dan kembali ke konsep awal pernikahan. Upayakan setiap konflik dapat terselesaikan dan mampu dibicarakan tanpa emosional. Caranya dengan mencari waktu yang tepat, semisal di saat santai, untuk membahasnya. Pada saat membahas, jangan menyerang pribadi, tapi fokuslah pada masalah dalam kerangka kasih sayang. Jika semua masalah dikomunikasikan dengan baik dan dilakukan kesepakatan bersama tanpa dibuat rumit, maka potensi konflik yang muncul bisa dikurangi, bahkan dihilangkan. (http://www.artikelpernikahan.com/2010/11/tahun-pertama-pernikahan-menentukan.html)
Tanggapan : artikel diatas tentang penyesuaian setelah adanya ikatan pernikahan. Banyak hal-hal yang berubah setelah hidup dalam satu atap (satu rumah). Banyak kebiasaan yang ketika berpacaran tidak terlihat tetapi setelah menikah semuanya terlihat sehingga sering terjadi cekcok antara keduanya. Proses penyesuaian memang butuh perjuangan agar dapat memadukan perbedaan-perbedaan serta mempertemukan kepentingan-kepentingan yang muncul. Karena hal ini masing-masing pasangan harus memiliki sikap toleransi dan adanya introspeksi antara keduanya agar terjalin hubungan yang sangat harmonis.
Perceraian dan Pernikahan kembali.
Setiap pasangan yang telah menikah pasti memiliki perjanjian dan kontrak, maka pihak yang terkait dengan perjanjian atau kontrak perjanjian tersebut berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir batin dengan melahirkan anak-cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat diwujudkan dalam pernikahan misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan pernikahan (perceraian). Setelah perceraian terjadi biasanya banyak orang yang trauma dengan pernikahan sehingga takut untuk berhubungan lagi dengan lawan jenis, tetapi ada juga orang yang langsung membuka diri dan menemukan kecocokan dengan pasangannya yang akhirnya menikah kembali melalui pernikahan kembali setelah terjadi perceraian.
Single Life.
Manusia sebagai makhluk social tidak akan pernah lepas dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai makhluk social kita memerlukan hubungan interpersonal secara mendalam dengan seseorang sehingga dapat memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya. Hubungan yang demikian akan meningkat terus sehingga sampai pada suatu perkawinan. Namun demikian, ternyata tidak semua orang dewasa menikah. Hidup melajang dan membujang banyak terjadi disekitar kita. Mereka memilih jalan hidup sendiri, bukanlah suatu hal tanpa masalah sehingga dapat dengan mudah dijalankan oleh seseorang. Mereka yang menjalani kehidupan tersebut harus berani mengambil resiko dari segal permasalahan yang akan timbul nantinya. Padahal agama juga menjelaskan bahwa telah dianjurkan kepada seseorang jika telah memasuki usia menikah, sudah mampu memberikan kebutuhan lahir dan batin maka segeralah untuk menikah karena dengan menikah maka agama seseorang akan sempurna dan merupakan ibadah kepada Allah SWT.  Dan sebenarnya kita diciptakan Allah SWT sudah berpasang-pasangan dan akan lebih baik jika dipersatukan dan disahkan dalam ikatan pernikahan.
Artikel 6
Memilih Jadi Lajang atau Terpaksa Melajang
Ketika melihat seseorang yang masih membujang, tentu saja banyak hal yang disangkakan. Yang terburuk adalah dianggap memiliki orientasi seks yang berbeda. Padahal menurut Dr. Bella DePaulo, atau Ellen McCarthy's di Washington Post, sedikit banyak menyimpulkan beberapa hal kenapa memilih hidup melajang. Pilihan yang pertama adalah, di sekeliling mereka terdapat banyak lajang yang berbahagia. Bahagia dengan jalinan hubungan yang santai, tanpa status, tanpa ikatan. Bahkan ketika berpasangan dengan ‘orang yang tepat’, tetap tidak mau berkomitmen. Bukan takut pada ikatan, tetapi karena melajang adalah pilihan. Kemudian ada juga yang memilih menjadi lajang karena menunggu datangnya ‘orang yang tepat’. Jika seseorang yang ditunggu datang, mereka akan menikah. Jika tidak, lebih baik sendiri dari pada menikahi orang yang salah, yang tidak cocok, dan jika akhirnya tidak menikah, tidak menjadi apa. Dan yang ketiga adalah orang yang terpaksa melajang. Keinginan untuk menikah sangat besar, tentu saja menikahi orang yang tepat. Sayangnya sampai mendekati titik kritisnya atau bahkan jauh melewati batas yang sudah dicanangkannya, belum juga menikah. Maka ketakutan akan menghantuinya, dengan siapa sisa hidupnya akan dihabiskan.
Terpaksa melajang inilah yang akan menjadi fokus artikel ini. Akan terjadi pertentangan antara statusnya sebagai lajang dan keinginan alamiahnya untuk menjalin hubungan atau menikah. Bertambahnya usia akan semakin mendesak dan menuntutnya untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Dan ketika desakan itu sudah semakin kuat, hal-hal idealnya akan semakin terkikis dan runtuh. Prioritas utamanya adalah menikah, akibatnya demi tujuan tersebut orang lain digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Apa yang dilakukan oleh lajang ini sama dengan memaksa orang lain terlibat dalam pernikahannya. Bahkan jika pernikahan dilakukan dalam kesepakatan, misal, berteman dengan seseorang, lalu terjadi kesepakatan, jika sampai pada usia tertentu masih lajang, mereka akan menikah. Sepertinya perjanjian tersebut adalah jalan ke luar yang terbaik, rasional, dan diputuskan dengan kepala dingin. Tetapi seharusnya pernikahan itu adalah suatu yang lebih rumit dari penyerdehanaan tersebut.
Pernikahan bukan sesuatu yang nyaman dan indah, walaupun beberapa pasangan mampu melakukannya. Pasangan bahagia tersebut melakukannya tidak dengan mudah, mereka meyakini bahwa hubungan pernikahan adalah segala-galanya. Pernikahan adalah sebuah kesesuaian dengan pasangan, sehingga mencari orang yang tepat dan yang mendekati sesuai adalah bagian yang terpenting. Tetapi ketika menunggu ‘orang yang tepat’ sampai datang juga bukan tindakan yang terbaik. Tidak ada orang yang sempurna, tak satupun, dua, apa lagi tiga. Tetapi tentu saja ada seseorang atau beberapa orang yang akan menjadi hebat dan mendekati sempurna saat bersama, mungkin itulah ‘orang yang tepat’. Dengan begitu bukan berarti pernyataan di atas adalah saran untuk menurunkan kriteria ‘orang yang tepat’, tetapi akan lebih indah jika ukuran ‘orang yang tepat’ tersebut di evaluasi, dikalibrasi ulang, siapa tahu cakrawala juga makin meluas. Dan jika ingin mencari ‘orang yang tepat’, jauhkan pikiran untuk membentuk apalagi membuat ‘orang yang tepat’ dalam bentuk imaginer. Tetapi tetapkan satu saja kriteria yang bisa membuat bahagia, sekarang dan di masa depan.
Tanggapan : menurut artikel diatas banyak hal yang disangkakan buruk ketika melihat jika seseorang masih membujang atau melajang. Sedikit banyak menyimpulkan beberapa hal kenapa memilih hidup melajang. Ada yang merasa belum memdapatkan seseorang yang cocok dan ada juga yang berhubungan tapi takut untuk berkomitmen. Sehingga mereka lebih memilih sendiri.  

Daftar Pustaka
kurniawan Harlis. 2009. Revolusi Cinta. Jakarta : PT. Lingkar Pena Kreativa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar